Hiking
merupakan sebuah kegiatan dimana seseorang atau lebih melakukan suatu perjalanan
bukan semata-mata untuk bersenang-senang atau merefresh kepenatan saja. Dilain
hal, kegiatan hiking memiliki maksud dan tujuan tertentu dimana dengan
terselenggaranya hiking ini, peserta mendapatkan banyak pelajaran bagi dirinya.
Maksud
dilaksanakannya hiking ini adalah sebagai sebuah pengenalan bagi saya.
Pengenalan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kebiasaan yang dilakukan
Lorong Teater.
Hiking
dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2011, dengan start perjalanan pada pukul
sembilan pagi. Dimulai dari rumah
Bapak Atep menuju sebuah puncak gunung yang dinamakan Gunung Buleud.
Hiking ini dipimpin oleh seorang Anggota Kehormatan Lorong Teater, Bapak Atep.
Kami
melakukan persiapan hiking dengan berkumpul di rumah Bapak Atep. Dengan rencana akan mengunjungi
satu tempat bernama Ranggamalela. Ranggamalela ini adalah salah satu Rangga
atau tempat yang memiiliki hubungan dengan terbentuknya kota Subang. Karena
selain sebuah pengenalan bagi saya, hiking ke tempat ini merupakan salah satu
observasi kami dalam pembuatan naskah Karang Gantungan yang akan dibuat oleh Bapak Atep.
Peserta yang mengikuti hiking ini adalah Bapak Atep, Teh Siska, Teh Siti, Teh Anita, A Enra, A Eko,
A Franx, Suami dari Teh Anita
dan Saya tentunya.
Terdapat
beberapa aturan yang harus dilaksanakan selama di perjalanan hiking ini. Yang
pertama, perintah sepenuhnya ada di pemimpin hiking, lalu kami tidak diperkenankan
untuk berbicara saat perjalanan atau kita diharuskan untuk diam, karna yang
harus kami lakukan saat itu adalah buka mata dan buka telinga, bukan membuka
mulut kita. Selanjutnya, kami diharuskan mencatatat yang penting, unik, atau
segala sesuatu yang harus diingat.
Sekitar
pukul sembilan pagi, kami berkumpul. Sebelum melakukan perjalanan hiking ini,
kami diberi beberapa aturan-aturan untuk di perjalanan nanti, seperti diatas.
Tugas saya, adalah mengikuti semua aturan tersebut, dan mencoba memahami setiap
aturan yang ada saat itu. Sebelum memulai perjalanan, kami berdoa. Ini
bertujuan agar kami selalu dilindungi oleh Tuhan dan selalu ingat Tuhan.
Mulailah perjalanan kami. Kami mulai meninggalkan
rumah Bapak Atep tanpa komunikasi. Inilah saat kami membuka mata dan
telinga
kita. Dan mencatat hal-hal yang perlu dicatat. Kami melewati kuburan kristen
dilanjutkan ke lokasi dimana ada pemukiman warga. Dengan sunyi, terik matahari,
kami berjalan terus. Mengamati sekitar, awalnya akan terasa sangat membosankan.
Saya merasakan itu karena saya belum memahami benar makna mengamati alam
sekitar. Sampailah kami ke daerah dimana terhampar rerumputan, seperti
padang rumput. setelah beberapa lama, saya mulai bisa merasakan nikmatnya
merasakan alam, mengamati sekitar, membuat diri tidak merasa bosan, karena kita
diam tidak dengan pandangan kosong, berjalan sambil terus berpikir.
Mendengarkan suara daun-daun di pohon yang terhembus
angin, suara langkah kita, suara tas, suara burung, merasakan angin, semua itu
dapat dinikmati. memang semua itu tidak perlu berbicara. Ikuti saja dan kita
akan menikmatinya.
Sampai
kepada sebuah jalan menanjak. Saat itu saya lebih memfokuskan diri kepada kaki
dan setapak jalan yang menanjak itu. Nafas mulai ngos-ngosan. Dan kami masih
tidak berkomunikasi. Pada akhirnya, kami berhenti di tempat yang permukaannya mulai
mendatar. Disana Bapak Atep meninstruksikan kepada kami untuk istirahat sejenak. Mulailah ada
komunikasi lagi diantara kami. tetapi tetap saja saya masih menjadi orang yang
masih ‘galau’ dengan perjalanan ini,
maksud saya, saya masih tetap diam. Saya harus bisa mengikuti ini semua.
Istirahat ini bukan diisi dengan mengobrol atau bersenda gurau, kami
diperintahkan Bapak Atep untuk menjawab soal-soal yang dibagikan oleh Teh Siti. Saya
bingung mengapa waktu istirahat kami diisi dengan mengerjakan soal. Sepuluh
soal matematika, dan tujuh soal yang didalamnya menanyakan seberapa jauh kami
mengamati
diri sendiri terhadap alam sekitar saat perjalanan yang sudah kami tempuh. Saya
masih mengikuti instruktur untuk mengisi soal dengan perasaan bingung. Tetapi
saya tetap mengikuti. Saya belum mendapatkan sebuah makna khusus dari apa yang
saya lakukan saat ini. Belum selesai menjawab semua pertanyaan, Bapak Atep menyuruh kami
berdiri. Dan memposisikan diri untuk melihat ke sebelah kiri kami. Beliau
meninstruksikan kami untuk menghitung berapa jumlah pohon pinus, pohon cemara,
tumbuhan kuning, dan pagar yang kami lihat dari posisi kami berdiri. Kami
diberikan waktu tiga menit untuk melakukan itu, dan setelah itu kami harus
menuliskannya. Sebelum waktu habis, saya sudah meningat berapa jumlah
masing-masing dan menuliskannya. Saat menghitung inilah saya ingat, Bapak Atep
menyuruh kami untuk tidak menggerakkan bibir kami saat berhitung. Untuk hal ini
saya mengerti, mungkin karena saat kita berfikir itu bukan oleh mulut tetapi
menggunakan otak kami.
Perjalanan
dilanjutkan setelah kami beristirahat kurang lebih sepuluh menit. Masih
terhampar rerumputan di sisi kanan kiri kami. Kita memulai untuk tidak
berkomunikasi lagi. Saya sudah mulai terbiasa, sepertinya saya sudah mulai bisa
mensibukkan diri untuk melihat alam, mendengar suara-suara apapun selama
perjalanan. Angin yang berhembus sedikit membuat rasa lelah hilang, sejuk
sekali. Disini saya bisa melihat langit yang terbentang. Sampai di tempat
pertama, saya ingat tempat ini bernama Ranggamalela. Diceritakan oleh Bapak Atep, disini adalah tempat yang strategis
untuk memata-matai. Saya seperti diceritakan dongeng masa lalu tentang sebuah
tempat di daerah Subang. Bukan sekedar dongeng namun ini sejarah yang masih
harus dicari tau kebenarannya. Menurut Bapak Atep, ini adalah observasi untuk
naskah tentang kota subang ini, maka beliau harus tau apa yang benar-benar
terjadi. Menurutnya ini salah satu yang harus dilakukan saat akan membuat sebuah
naskah. Bukan sekedar naskah imaginer, tetapi benar-benar harus langsung mencari informasi yang real.
Setalah Bapak Atep menceritakan tentang tempat pertama ini, beliau
memberi kami waktu untuk menyimpan gambar bentangan alam ini di memori kami.
Perjalanan dilanjutkan ke tempar kedua. Perjalannya tidak terlalu jauh. Masih
terlihat rerumputan di sisi kanan kiri kami. Dan saat di perjalanan ke tempat
berikutnya, kami tidak melakukan sebuah komunikasi. Tempat ini masih daerah Ranggamelela. Tempat
ini juga sama fungsi dengan tempat pertama. Tempat memata-matai. Terlihat lebih
indah dari sebelumnya. Disini lebih banyak diceritakan tentang tempat-tempat
lain yang terbentang di seberang tempat ini. Seperti di tempat pertama, setelah
diceritakan tentang tempat ini, kami diberi waktu untuk menyimpan gambar
bentangan alam ini di memori kami.
Saatnya
kami melanjutkan ke tempat tujuan terakhir kami. Jalannya sedikit lebih
menantang, kami harus naik ke atas puncak gunung. Jalanan menanjak. Saat ini
saya bisa melihat semuanya mulai merasa lelah. semua terlihat ngos-ngosan. Saya
memfokuskan lagi pada kaki dan jalan menanjak itu. Akhirnya kami sampai di atas
gunung itu. Kami beristirahat disini. Dipuncak gunung inilah terdapat makam Hj.
Eyang yang keberadaannya masih sangat dipertanyakan. Aapakah benar ada seorang
sosok Hj. Eyang atau sebagai pengecoh tempat disembunyikannya sesatu? Saya
belum paham.
Selain itu, banyak perbincangan di puncak gunung itu. Selain makam yang sudah kami bicarakan ada lagi
perbincangan yang menyangkut geografi tentang bentuk gunung. Lalu perbincangan
nostalgia di masa lalu saat sebelumnya mereka pernah ke tempat itu, dan perbincangan tentang
tumbuhan. Itu
semua bukan perbincangan yang sia-sia. Terakhir, kami mendapat instruksi untuk menggambar
denah, dan gambar
tempat berjajarnya pohon dan pagar yang kami hitung sebelumnya. (#tang! Buyar! Saya terlalu asyik menyimak)
Di
puncak gunung inilah saya mulai mengerti makna perjalanan hiking. Saya mengerti
mengapa kita tidak melakukan komunikasi saat perjalanan. Menurut saya, itu
semua bermakna agar kita bisa berfikir, mata dan telinga kita harus digunakan
sebaik mungkin, melihat, mendengar dan meneliti apa yang ada di sekitar kita.
Semua itu tidak perlu berbicara. Kita belajar memfokuskan diri disana. Otaklah
yang berperan penting saat itu, yang dibutuhkan hanya berfikir. Bukan yang
lain. Itulah, saya mencoba melakukan itu, pertanyaan-pertanyaan dalam hati yang
membuat saya bingung terus saya ikuti. Bapak Atep menambahkan pendapat-pendapat yang saya tahu.
Beliau menjelaskan bahwa sebatang pohonpun, mereka diam, namun mereka bisa tetap
tumbuh. Dalam diam tentunya.
Kebingungan saya saat itu membuat saya diam dan terus
berfikir. Makna tentang menghitung jumlah pohon atau pagar disampaikan pula
oleh Bapak Atep. Ini penting untuk melihat detail. Dalam pengkarakteran,
dibutuhkan berfikir detail begitupun dalam kehidupan nyata. Saya mengerti bahwa
saat saya menghitung pohon dan pagar dengan waktu yang singkat itu salah.
seharusnya, saya melihat umumnya keseluruhan dari apa yang saya
amati. Menyimpannya dalam memori dan setelah itu baru saya dapat detail
menghitung jumlah pohon dan pagar, bahkan sampai posisinya pun bisa mudah saya
ingat. Bapak Atep menambahkan, ini baru saja perjalanan ringan. Beliau juga
menyuruh saya memikirkan bagaimana Lorong di
Sekolah
selanjutnya. Lanjutnya, ini belum ada apa-apanya ntuk melihat kebiasaan
bagaimana kebiasaan Lorong Teater yang sebenarnya. Mungkin akan lebih berat
dari ini. Saya sudah bisa membayangkan, akan sangat berat. Tetapi saya akan
mencoba untuk terus mengikutinya.
Subang,
22 Februari 2011
L-74