30 Juni 2014

Posted by Lorong Teater Subang On 13:44


Hiking merupakan sebuah kegiatan dimana seseorang atau lebih melakukan suatu perjalanan bukan semata-mata untuk bersenang-senang atau merefresh kepenatan saja. Dilain hal, kegiatan hiking memiliki maksud dan tujuan tertentu dimana dengan terselenggaranya hiking ini, peserta mendapatkan banyak pelajaran bagi dirinya.
Maksud dilaksanakannya hiking ini adalah sebagai sebuah pengenalan bagi saya. Pengenalan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kebiasaan yang dilakukan Lorong Teater.
Hiking dilaksanakan pada tanggal 20 Februari 2011, dengan start perjalanan pada pukul sembilan pagi. Dimulai dari rumah Bapak Atep menuju sebuah puncak gunung yang dinamakan Gunung Buleud. Hiking ini dipimpin oleh seorang Anggota Kehormatan Lorong Teater, Bapak Atep.
Kami melakukan persiapan hiking dengan berkumpul di rumah Bapak Atep. Dengan rencana akan mengunjungi satu tempat bernama Ranggamalela. Ranggamalela ini adalah salah satu Rangga atau tempat yang memiiliki hubungan dengan terbentuknya kota Subang. Karena selain sebuah pengenalan bagi saya, hiking ke tempat ini merupakan salah satu observasi kami dalam pembuatan naskah Karang Gantungan yang akan dibuat oleh Bapak Atep. 
Peserta yang mengikuti hiking ini adalah Bapak Atep, Teh Siska, Teh Siti, Teh Anita, A Enra, A Eko, A Franx, Suami dari Teh Anita dan Saya tentunya.
Terdapat beberapa aturan yang harus dilaksanakan selama di perjalanan hiking ini. Yang pertama, perintah sepenuhnya ada di pemimpin hiking, lalu kami tidak diperkenankan untuk berbicara saat perjalanan atau kita diharuskan untuk diam, karna yang harus kami lakukan saat itu adalah buka mata dan buka telinga, bukan membuka mulut kita. Selanjutnya, kami diharuskan mencatatat yang penting, unik, atau segala sesuatu yang harus diingat.
Sekitar pukul sembilan pagi, kami berkumpul. Sebelum melakukan perjalanan hiking ini, kami diberi beberapa aturan-aturan untuk di perjalanan nanti, seperti diatas. Tugas saya, adalah mengikuti semua aturan tersebut, dan mencoba memahami setiap aturan yang ada saat itu. Sebelum memulai perjalanan, kami berdoa. Ini bertujuan agar kami selalu dilindungi oleh Tuhan dan selalu ingat Tuhan. 
Mulailah perjalanan kami. Kami mulai meninggalkan rumah Bapak Atep tanpa komunikasi. Inilah saat kami membuka mata dan telinga kita. Dan mencatat hal-hal yang perlu dicatat. Kami melewati kuburan kristen dilanjutkan ke lokasi dimana ada pemukiman warga. Dengan sunyi, terik matahari, kami berjalan terus. Mengamati sekitar, awalnya akan terasa sangat membosankan. Saya merasakan itu karena saya belum memahami benar makna mengamati alam sekitar. Sampailah kami ke daerah dimana terhampar rerumputan, seperti padang rumput. setelah beberapa lama, saya mulai bisa merasakan nikmatnya merasakan alam, mengamati sekitar, membuat diri tidak merasa bosan, karena kita diam tidak dengan pandangan kosong, berjalan sambil terus berpikir. Mendengarkan suara daun-daun di pohon yang terhembus angin, suara langkah kita, suara tas, suara burung, merasakan angin, semua itu dapat dinikmati. memang semua itu tidak perlu berbicara. Ikuti saja dan kita akan menikmatinya.

 

Sampai kepada sebuah jalan menanjak. Saat itu saya lebih memfokuskan diri kepada kaki dan setapak jalan yang menanjak itu. Nafas mulai ngos-ngosan. Dan kami masih tidak berkomunikasi. Pada akhirnya, kami berhenti di tempat yang permukaannya mulai mendatar. Disana Bapak Atep meninstruksikan kepada kami untuk istirahat sejenak. Mulailah ada komunikasi lagi diantara kami. tetapi tetap saja saya masih menjadi orang yang masih galau dengan perjalanan ini, maksud saya, saya masih tetap diam. Saya harus bisa mengikuti ini semua. Istirahat ini bukan diisi dengan mengobrol atau bersenda gurau, kami diperintahkan Bapak Atep untuk menjawab soal-soal yang dibagikan oleh Teh Siti. Saya bingung mengapa waktu istirahat kami diisi dengan mengerjakan soal. Sepuluh soal matematika, dan tujuh soal yang didalamnya menanyakan seberapa jauh kami mengamati diri sendiri terhadap alam sekitar saat perjalanan yang sudah kami tempuh. Saya masih mengikuti instruktur untuk mengisi soal dengan perasaan bingung. Tetapi saya tetap mengikuti. Saya belum mendapatkan sebuah makna khusus dari apa yang saya lakukan saat ini. Belum selesai menjawab semua pertanyaan, Bapak Atep menyuruh kami berdiri. Dan memposisikan diri untuk melihat ke sebelah kiri kami. Beliau meninstruksikan kami untuk menghitung berapa jumlah pohon pinus, pohon cemara, tumbuhan kuning, dan pagar yang kami lihat dari posisi kami berdiri. Kami diberikan waktu tiga menit untuk melakukan itu, dan setelah itu kami harus menuliskannya. Sebelum waktu habis, saya sudah meningat berapa jumlah masing-masing dan menuliskannya. Saat menghitung inilah saya ingat, Bapak Atep menyuruh kami untuk tidak menggerakkan bibir kami saat berhitung. Untuk hal ini saya mengerti, mungkin karena saat kita berfikir itu bukan oleh mulut tetapi menggunakan otak kami.
Perjalanan dilanjutkan setelah kami beristirahat kurang lebih sepuluh menit. Masih terhampar rerumputan di sisi kanan kiri kami. Kita memulai untuk tidak berkomunikasi lagi. Saya sudah mulai terbiasa, sepertinya saya sudah mulai bisa mensibukkan diri untuk melihat alam, mendengar suara-suara apapun selama perjalanan. Angin yang berhembus sedikit membuat rasa lelah hilang, sejuk sekali. Disini saya bisa melihat langit yang terbentang. Sampai di tempat pertama, saya ingat tempat ini bernama Ranggamalela. Diceritakan oleh Bapak Atep, disini adalah tempat yang strategis untuk memata-matai. Saya seperti diceritakan dongeng masa lalu tentang sebuah tempat di daerah Subang. Bukan sekedar dongeng namun ini sejarah yang masih harus dicari tau kebenarannya. Menurut Bapak Atep, ini adalah observasi untuk naskah tentang kota subang ini, maka beliau harus tau apa yang benar-benar terjadi. Menurutnya ini salah satu yang harus dilakukan saat akan membuat sebuah naskah. Bukan sekedar naskah imaginer, tetapi benar-benar harus langsung mencari informasi yang real.
Setalah Bapak Atep menceritakan tentang tempat pertama ini, beliau memberi kami waktu untuk menyimpan gambar bentangan alam ini di memori kami. Perjalanan dilanjutkan ke tempar kedua. Perjalannya tidak terlalu jauh. Masih terlihat rerumputan di sisi kanan kiri kami. Dan saat di perjalanan ke tempat berikutnya, kami tidak melakukan sebuah komunikasi.  Tempat ini masih daerah Ranggamelela. Tempat ini juga sama fungsi dengan tempat pertama. Tempat memata-matai. Terlihat lebih indah dari sebelumnya. Disini lebih banyak diceritakan tentang tempat-tempat lain yang terbentang di seberang tempat ini. Seperti di tempat pertama, setelah diceritakan tentang tempat ini, kami diberi waktu untuk menyimpan gambar bentangan alam ini di memori kami.


Saatnya kami melanjutkan ke tempat tujuan terakhir kami. Jalannya sedikit lebih menantang, kami harus naik ke atas puncak gunung. Jalanan menanjak. Saat ini saya bisa melihat semuanya mulai merasa lelah. semua terlihat ngos-ngosan. Saya memfokuskan lagi pada kaki dan jalan menanjak itu. Akhirnya kami sampai di atas gunung itu. Kami beristirahat disini. Dipuncak gunung inilah terdapat makam Hj. Eyang yang keberadaannya masih sangat dipertanyakan. Aapakah benar ada seorang sosok Hj. Eyang atau sebagai pengecoh tempat disembunyikannya sesatu? Saya belum paham. Selain itu, banyak perbincangan di puncak gunung itu. Selain makam yang sudah kami bicarakan ada lagi perbincangan yang menyangkut geografi tentang bentuk gunung. Lalu perbincangan nostalgia di masa lalu saat sebelumnya mereka pernah ke tempat itu, dan perbincangan tentang tumbuhan. Itu semua bukan perbincangan yang sia-sia. Terakhir, kami mendapat instruksi untuk menggambar denah, dan gambar tempat berjajarnya pohon dan pagar yang kami hitung sebelumnya. (#tang! Buyar! Saya terlalu asyik menyimak)
Di puncak gunung inilah saya mulai mengerti makna perjalanan hiking. Saya mengerti mengapa kita tidak melakukan komunikasi saat perjalanan. Menurut saya, itu semua bermakna agar kita bisa berfikir, mata dan telinga kita harus digunakan sebaik mungkin, melihat, mendengar dan meneliti apa yang ada di sekitar kita. Semua itu tidak perlu berbicara. Kita belajar memfokuskan diri disana. Otaklah yang berperan penting saat itu, yang dibutuhkan hanya berfikir. Bukan yang lain. Itulah, saya mencoba melakukan itu, pertanyaan-pertanyaan dalam hati yang membuat saya bingung terus saya ikuti. Bapak Atep menambahkan pendapat-pendapat yang saya tahu. Beliau menjelaskan bahwa sebatang pohonpun, mereka diam, namun mereka bisa tetap tumbuh. Dalam diam tentunya.
Kebingungan saya saat itu membuat saya diam dan terus berfikir. Makna tentang menghitung jumlah pohon atau pagar disampaikan pula oleh Bapak Atep. Ini penting untuk melihat detail. Dalam pengkarakteran, dibutuhkan berfikir detail begitupun dalam kehidupan nyata. Saya mengerti bahwa saat saya menghitung pohon dan pagar dengan waktu yang singkat itu salah. seharusnya, saya melihat umumnya keseluruhan dari apa yang saya amati. Menyimpannya dalam memori dan setelah itu baru saya dapat detail menghitung jumlah pohon dan pagar, bahkan sampai posisinya pun bisa mudah saya ingat. Bapak Atep menambahkan, ini baru saja perjalanan ringan. Beliau juga menyuruh saya memikirkan bagaimana Lorong di Sekolah selanjutnya. Lanjutnya, ini belum ada apa-apanya ntuk melihat kebiasaan bagaimana kebiasaan Lorong Teater yang sebenarnya. Mungkin akan lebih berat dari ini. Saya sudah bisa membayangkan, akan sangat berat. Tetapi saya akan mencoba untuk terus mengikutinya.

Subang, 22 Februari 2011
L-74